Sejarah Masjid Cheng Ho – Wilayah Nusantara merupakan wilayah yang strategis bagi para pedagang yang akan memperdagangkan komoditinya. Wilayah nusantara dijadikan sebagai tempat persinggahan untuk melakukan istirahat, namun selain istirahat mereka juga melakukan berbagai interaksi dan transaksi perdagangan pula.
Hal ini didukung dengan pendapat Soetarto dalam (Agus, 2013:1) Nusantara terletak di persilangan jalan antara Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik atau lebih khususnya, antara Teluk Benggala dengan Laut Cina Selatan. Maka dari itu wilayah nusantara pasti dilaui oleh peara pedagang tersebut. Banyak yang datang dari luar seperti dari Arab, India, dan Cina.
Awal Masuknya Laksamana Muslim Zheng Ho (Cheng Ho)
Pengaruh masuknya Budaya Cina ke Indonesia diawali ketika kerajaan Majapahit sedang mengalami masa jaya, yaitu pada akhir abad ke-13, bahkan menurut Slamet Muljana (2006:52). Pengaruh ini dibawa para pedagang yang singgah di Indonesia yang bisa disebut nusantara.
Mereka selain berdagang juga membawa budaya yang mereka miliki, dan oleh penduduk nusantara dilihat, diamati, dan lama kelamaan ditiru. Karenanya banyak pengaruh Budaya Cina yang masuk di wilayah Indonesia.
Namun selain para pedagang, ada juga dari golongan prajurit. Salah satu yang paling terkenal adalah Laksamana muslim Zheng Ho (Cheng Ho). Cheng Ho beberapa kali datang ke Indonesia. Beliau memimpin muhibah perdagangan menuju Nusantara dengan menggunakan armada laut yang besar.
Muhibah sendiri berasal dari Bahasa Arab yang berarti cinta kasih, disini Cheng Ho yang seorang prajurit berusaha menciptakan kedamaian perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang Cina. Cheng Ho banyak singgah di beberapa wilayah, oleh karena itu Handinoto dan Samuel Hartono (2011) mengungkapkan setidaknya ada seribu keluarga Cina bermukim di Tuban dan Gresik, juga Palembang.
Cheng Ho Mendatangi Raja Majapahit
Menjadi utusan seorang Kaisar Yung Lo, Cheng Ho mendatangi Raja Majapahit yang bertujuan untuk menyebarkan agama Islam. Dalam menyebarkan agam Islam Cheng Ho menggunakan jalan perdamaian sehingga banyak masyarakat pribumi yang suka atas kedatangan Cheng Ho.
Hal inilah yang membuat penduduk pribumi, bahkan para raja menaruh hormat pada Laksamana Cheng Ho. Itulah yang membuat Cheng Ho masih dikenang hingga sekarang oleh penduduk pribumi dengan mendirikan bangunan masjid yang diberi nama seperti dirinya.
Selain itu, seorang sejarawan, Kong (2005) menyebutkan bahwa tujuan sebenarnya Cheng Ho melakukan pelayaran ini selain bersilaturahmi juga ingin menyebarkan dan memperkenalkan agama Islam kepada penduduk yang dikunjungi, bahwa Islam merupakan agama yang rasional dan universal.
Cheng Ho sudah melewati banyak pelayaran ke beberapa negara, namun tidak sekalipun tujuan pelayaran itu adalah untuk penaklukkan atau peguasaan wilayah. Hal ini sangat berbeda dengan tujuan pelayaran yang dilakukan oleh bangsa Eropa yang pasti diikiuti oleh tujuan kolonialisasi.
Cheng Ho dalam ekspedisinya menggunakan kapal-kapal yang begitu besar yang biasa disebut Kapal Baochuan, selain itu ada juga kapal yang lebih kecil yang bernama Kapal Machuan, dan juga kapal perbekalan, kapal, kapal pengangkut pasukan, serta kapal layar khas Tiongkok yaitu Jung.
Pasukan yang dibawa oleh Cheng Ho jumlahnya juga banyak sekali, mereka terdiri dari prajurit, tabib, ahli nujum, tukang kayu, pandai besi, penjahit, koki, saudagar, dan penerjemah. tabib, ahli nujum, tukang kayu, pandai besi, penjahit, koki, saudagar, dan penerjemah. Terhitung dalam sekali melakukan ekspedisi ada 30.000 lebih awak kapal yang dibawa oleh Cheng Ho.
Pelayaran Besar Cheng Ho
Dalam tujuh kali pelayaran besarnya, Cheng Ho selalu menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di Nusantara antara lain Palembang, Samudra Pasai, Lamiri, Nakur, Lide, di Sumatra, sedangkan di Jawa antara lain antara lain Cirebon, Semarang, Tuban, Gresik, Surabaya, Mojokerto.
Selain melakukan penjagaan perdamaian dalam hal perdagangan, Cheng Ho juga memberikan pengetahuan mengenai pelayaran yang mereka gunakan, sampai menerbitkan 24 peta pelayaran yang dapat dipelajari oleh penduduk nusantara.
Seiring meningkatnya hubungan dengan Cina, membuat pengaruh kebudayaan Cina pun mulai merasuki kehidupan penduduk nusantara. Pengaruh kebudayaan tersebut dapat terjadi pada banyak bidang, salah satu diantaranya adalah dari segi arsitektur bangunan peninggalan masa Islam.
Sesuai hakekat kebudayaan, perubahan dan kesinambungan selalu terjadi, maka Arsitektur pun mengalami perubahan. (Hadi, 2013:16) Perubahan tadi disebabkan oleh faktor-faktor eksternal (kondisi sosial, ekonomi dan politik), merujuk pada Teuku Haji Ibrahim Alfian dalam Soemitro Djojowidagdo (2000:98), berdasarkan pengaruh-pengaruh tersebut, maka tiap kesenian merupakan petanda ungkapan jiwa zaman (Zeitgeist).
Peninggalan Masjid Cheng Ho
Salah satu peninggalan islam yang terpengaruh budaya Cina adalah Masjid Cheng Ho yang tersebar di wilayah Indonesia sekarang. Memang sejarah masjid Cheng Ho ini bukan merupakan peninggalan langsung dari Cheng Ho, namun penduduk Indonesia sendiri yang membangunnya untuk mengenang jasa Cheng Ho dalam menyebarkan Agama Islam di wilayah Indonesia sendiri dulunya.
Arsitektur yang unik dari masjid ini merupakan salah satu bentuk silang budaya islam dengan Cina. Bergaya arsitektur khas Cina dikombinasikan dengan sentuhan budaya Arab dan Jawa sehingga terjadi satu akulturasi budaya yang unik dan khas, derta didukung dengan lingkungan yang bersih dan enak membuat Masjid Cheng Ho yang ada di Pulau Jawa enak dan nyaman untuk dikunjungi.
Hal itu ditopang dengan nilai-nilai seni dan budaya lewat sentuhan tangan-tangan para ahli yang punya kemampuan dan capable di bidangnya baik dari sisi teknik bangunannya sendiri maupun arsitekturnya (Suparjdo, 2011: 2-3).
Masjid Cheng Ho sendiri saat ini sudah ada 15 di seluruh Indonesia dan kebanyakan ada di Pulau Jawa. Masjid ini antara lain ada di Surabaya, Pasuruan, Banyuwangi, Jember, Purbalingga, Palembang, Batam, dll.
Kebanyakan daerah yang didirikan masjid itu adalah daerah yang dulu pernah disinggahi oleh Cheng Ho. Arsitektur masjid ini sangat kental dengan gaya Tiongkok atau Cina, bahkan lebih mirip seperti klenteng, maka dari itu sejarah masjid Cheng Ho ini mencerminkan bentuk akluturasi dan toleransi yang ada di Indonesia.