Pertumbuhan Kota Jember dan Munculnya Budaya Pandhalungan

Pendahuluan

Di antara  kota­-kota di Karesidenan Besuki pada desenia pertengahan abad ke XIX sampai awal abad XX, kota yang paling menarik pertumbuhannya adalah Jember. Kota ini semula sebagai kota kecil yang sepi dan terisolir dan statusnya sebagai salah satu distrik dari Regentschap Bondowoso.

Dalam waktu yang relatif singkat kota Jember menjadi kota yang paling besar jika dibanding dengan kabupaten-­kabupaten di Karesidenan Besuki seperti Kabupaten Panarukan, Bondowoso, dan Banyuwangi. Penyebab pertumbuhan kota Jember ini erat kaitannya dengan penetrasi sistem kapitalisme yang berwujud perkebunan partikelir.

Kemunculan perkebunan­-perkebunan swasta di Indonesia melalui kebijakan ekonomi pada dekade ke enam dan ke tujuh abad XIX yang disebut the system of enterprise membawa dampak perubahan sosial dan eko­nomi pada masyarakat Indonesia (Elson, 1984). Sistem ini sebagai pengganti Sistem Tanam Paksa yang oleh sebagian penulis dianggap membawa “tragedi” kemelaratan bagi rakyat Indonesia (van Niel:1988).

Pemrakarsa sistem baru ini ialah kelompok liberal yang menentang pelaksanaan sistem tanam paksa. Sistem baru ini memungkinkan tumbuhnya perkebunan-perkebunan swasta, karena pemerintah Hindia Belanda memberikan dukungan dan fasilitas yang besar pada pihak swasta. Tujuan dan harapannya, hasil tanaman komoditi ekspor dapat memberikan keuntungan atau devisa pada pemerintah.

Perintis usaha perkebunan swasta di Jember ialah George Birnie yang pada tanggal 1 Oktober 1859 bersama Mr. C. Sandenberg Matthiesen dan van Gennep mendirikan NV Landbouw Maatsccappij Oud Djember (NV. LMOD) yang semula bergerak di bidang perkebunan tembakau, namun kelak kemudian hari merambah pada perkebunan aneka tanaman seperti kopi, cacao, dan karet (Brosur NV. LMOD: 1909).

Usaha George Birnie tersebut menarik minat para ondernemer Belanda lainnya untuk menanamkan dan mendirikan per­ kebunan di daerah Jember, sehingga dalam waktu yang relatif singkat berdiri perkebunan swasta di daerah ini seperti Besoeki Tabac Maatscappij dan Djelboek Tabac Maatscacppij.

Kehadiran sistem perkebunan swasta ini membawa perubahan­perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat dan yang terpenting terjadinya perubahan status kota Jember pada tahun 1883, dari distrik menjadi Kepatihan yang berdiri sendiri (Patih Zelfstandig) terpisah dari Kabupaten Bondowoso.

Sehubungan dengan  berubahnya status kota Jember, pemerintah pusat mengadakan perombakan struktur pemerintahan dan digalakkan pembangunan infrastuktur seperti jembatan, jalan dan yang terpenting dibukanya jalur kereta api dari Surabaya menuju Probolinggo dan terus ke Jember, serta dari Jember menuju Panarukan yang berfungsi sebagai pelabuhan untuk mengangkut produk komoditi ekspor pada desenia ke sembilan abad XIX.

Kehadiran perkebunan­-perkebunan swasta di Jember menyebabkan gelombang migrasi besar­-besaran dari daerah Madura dan Jawa ke daerah Jember. Para migran tersebut membawa dan  mengembangkan  budaya asalnya ke daerah yang baru. Menariknya di daerah Jember terjadi proses akulturasi budaya sehingga di daerah Jember muncul budaya pandhalungan yang merupakan percampuran dua anasir budaya menjadi budaya baru.

Beranjak dari hal di atas timbul beberapa permasalahan yang perlu dikaji secara detail yakni: pertama, bagaimanakah pengaruh sis­tem perkebunan swasta terhadap pertum­ buhan dan perkembangan kota Jember? Kedua, berkembangnya perkebunan swasta di daerah  ini menimbulkan  gelombang migrasi ke daerah Jember. Bagaimana dampak migrasi terhadap dinamika budaya dan proses akulturasi budaya yang menghasilkan budaya baru yang disebut budaya pandhalungan?

Pertumbuhan kota Jember

Kota Jember pada mulanya merupakan desa atau tempat pemukiman, namun karena memiliki potensi tempat tersebut tumbuh dan berkembang menjadi kota. Faktor ekonomi merupakan salah satu unsur penting yang mendasari tumbuh dan bekembangnya kota (Weber, 1962).

Pertumbuhan kota­kota di Indonesia pada umumnya untuk kepentingan kolonialisme. Potensi dan pengembangan ekonomi tersebut diiringi dengan adanya perbaikan dan modernisasi di bidang trans­ portasi. Dibangunnya  sarana  transportasi seperti jalan kereta api dan jalan­jalan darat ke daerah pedalaman menimbulkan perubahan­-perubahan struktural. Perubahan­perubahan itu berpengaruh terhadap tenaga kerja, pe­ rubahan demografis, dan mempercepat modernisasi (Hoyle, 1973).

Pendapat tersebut sesuai dengan pertumbuhan kota Jember yang berkembang pesat sejak desenia akhir abad XIX terutama setelah dibangunnya sarana jalan darat dan jalur kereta api menuju Jember. Pembangunan sarana transportasi ini menyebabkan mobilitas sosial horisontal yang relatif tinggi pada orang­orang Madura, Jawa, Cina, Arab, dan Belanda. Mobilitas sosial itu menyebabkan dalam waktu relatif singkat terjadi peningkatan jumlah penduduk yang sangat cepat (Tennekes, 1963).

Menurut Bleeker, tahun 1845 penduduk Jember berjumlah 9.237 orang (Bleeker, 1847). Sejak desenia ke tujuh abad XIX seiring dibukanya perkebunan swasta di daerah ini terjadi lonjakan jumlah penduduk. Tahun 1867 meningkat menjadi 75.780 orang (Tennekes,1963), yang salah satu penyebabnya gelombang migrasi besar­ besaran orang Madura ke daerah Jember.

Pada tahun 1880 penduduk Jember meningkat menjadi 129.798 orang. Peningkatan penduduk juga disebabkan gelombang migrasi besar­ besaran orang Jawa ke daerah Jember sebagai salah satu akibat dibukanya perkebunan swasta di Jember pada tahun 1880­an sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja.

Orang­-orang Belanda yang jumlahnya semakin tahun semakin besar membentuk pemukiman sendiri yang terpisah dengan pe­mukiman penduduk pribumi. Pemukiman orang Belanda itu pusatnya di Distrik Jember. Di tempat ini terdapat kompleks perumahan orang Belanda yang bekerja di perkebunan­ perkebunan, dan yang bekerja di berbagai instansi pemerintah.

Selain itu juga terdapat kompleks  perkantoran  seperti  kantor pusat beberapa perkebunan swasta, kantor Besoekisch Proefsiation, yakni lembaga penelitian perke­ bunan, dan beberapa kantor pemerintah. Di tempat ini juga didirikan gedung Socieieit Gebouw sebagai pusat pertemuan orang­orang Belanda di kota Jember dan sekitarnya.

Seiring dengan perkembangan daerah ini, orang­orang Arab dan Cina yang dikenal sebagai kelompok pedagang juga berdatangan ke Jember. Orang­orang Cina membentuk pola pemukiman tersendiri yang pusatnya di daerah pacinan yang terletak di Distrik Jember.

Pada umumnya mereka membuka usaha toko, namun banyak pula yang menjadi pedagang kelontong yang masuk ke daerah pedesaan. Mereka mengkreditkan barang­barang dengan cicilan dan harga tinggi. Golongan tersebut oleh penduduk setempat disebut Cena tokang mendreng.

Selain itu, ada orang­orang Cina yang berprofesi sebagai pengusaha tembakau. Mereka membeli tembakau rakyat di daerah  pedesaan. Pengusaha tembakau Cina seringkali menjadi saingan berat bagi pengusaha tem­ bakau Belanda. Pada tahun 1889 tiga orang Cina menjadi pengusaha penggilingan beras di distrik Jember dan Wuluhan (ANRI Besoeki, 1889).

Kelompok etnis lain yang juga membentuk pemukiman tersendiri ialah orang­orang Arab yang bermukim di daerah Kampung Arab, di belakang masjid Jamik. Jumlah  orang  Arab di Jember tidak sebanyak orang Cina dan Belanda. Sebagian besar dari mereka menjadi pedagang kain, minyak wangi dan barang kelontong, serta menjadi pedagang beras dan palawija (ANRI Besoeki, 1889).

Komposisi penduduk dengan latar bela­ kang etnisnya yang bermukim di daerah Jember dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Komposisi Penduduk di Afdeling Jember pada tahun 1930

Distrik Pribumi Cina Arab Eropa Total
Jember 139.955 3.357 233 902 144.447
Mayang 94.962 512 12 212 95.698
Kalisat 131.856 958 81 211 133.105
Wuluhan 127.162 1.038 142 238 128.625
Rambipuji 131.929 925 81 153 133.088
Tanggul 151.042 1.342 120 453 152.957
Puger 143.468 1.321 36 334 145.159
Jumlah 920.374 9.452 705 2.548 933.079

Sumber : Memories van Overgave van den Residentie Besoeki 1931.

Di sisi lain pertumbuhan kota Jember di­ tandai dengan perubahan status kota. Jember yang semula berstatus sebagai salah satu distrik dari afdeling Bondowoso, sejak tahun 1883 menjadi afdeling tersendiri. Perubahan status kota itu didasarkan pada besluit pemerintah dd 9 Januari 1883 nomer 49 (ANRI Besoeki, 1883).

Faktor-­faktor yang menyebabkan perubahan status kota Jember ialah: pertama, semakin padatnya jumlah penduduk yang  bermukim di daerah ini. Kedua, daerah Jember semakin ramai dan berkembang. Perkembangan di­ tandai dengan semakin banyaknya jumlah desa.

Pada tahun 1845 daerah Jember hanya terdiri atas 36 desa, namun pada tahun 1874 berkembang menjadi 46 desa (Regering Almanak, 1874) dan pada tahun 1883 menjadi 117 desa. Tahun­-tahun berikutnya jumlah desa terus bertambah karena banyaknya pemecahan desa, seperti yang terjadi pada desa Jember Kidul.

Desa ini semula terdiri atas 10 dusun dengan penghuni 385 kepala keluarga. Karena jumlah penduduk yang terus bertambah, tujuh dusun yang terletak di sebelah selatan dijadikan desa baru, yakni Desa Keranjingan. Pembentukan desa baru itu berdasarkan besluit Residen Besuki tertanggal 18 Januari 1883 nomer 9/42 (ANRI Besoeki, 1884).

Pemecahan desa seperti di atas juga terjadi di Desa Jenggawah. Desa ini akhirnya dibagi menjadi dua, yakni Desa Jenggawah dan  Desa Mangaran. Pembagian Desa  Jenggawah berdasarkan besluit Residen Besuki nomer 36/42 tertanggal 13 Oktober 1886. Desa Tegal­ waru juga dibagi dua berdasarkan besluit Residen Besuki nomer 7/42 tertanggal 3 Juni 3887. Selain itu pemecahan desa­desa di Jember terutama setelah datangnya para migran Jawa pada sekitar tahun 1890­-an.

Sehubungan dengan berubahnya status kota Jember, pemerintah pusat mengadakan perombakan struktur pemerintahan. Pada waktu Jember menjadi salah satu distrik dari afdeling Bondowoso, kota ini dikepalai seorang Wedana pribumi yang dibantu oleh seorang asisten controleur berkebangsaan Belanda.

Sejak kota Jember menjadi afdeling tersendiri, yang mengepalai ialah Asisten Residen dan yang diangkat pertama kali ialah C.H Blanken yang menjabat tahun 1883 sampai 1885,  kemudian B.C. Repelius yang menjabat tahun 1885 sampai 1891.

Asisten Residen mengepalai afdeling yang dalam menjalankan pemerintahan be­ kerjasama dengan Bupati sebagai kepala peme­ rintahan pribumi. Untuk itu pemerintah pusat mengangkat   Bupati   Jember   yang  pertama Panji Kusumonegoro tahun 1883 sampai 1891,kemudiandiganti R. Tumenggung Kerto Subroto (Regering Almanak, 1891).

Selain mengangkat dua pejabat yang me­ mimpin afdeling Jember, pemerintah pusat mengangkat pejabat sekretaris, komis, dan seorang controleur, yang tertuang dalam Gouvernements besluit nomer 3 tertanggal 24 Oktober 1883. Pejabat­-pejabat itu membantu melaksanakan pemerintahan sehari­hari. Bersamaan dengan itu pemerintah pusat mendirikan lembaga pengadilan (landradd), berdasarkan besluit pemerintah nomer 15 tertanggal 9 November 1883 (ANRI Besuki, 1883).

Untuk memimpin lembaga pengadilan tersebut, maka diangkat kepala jaksa Jember yang semula bertugas di landradd Situbondo dengan jabatan sebagai adjunct Jaksa. Selain jabatan­jabatan seperti di atas, pemerintah mengangkat seorang patih yang fungsinya sebagai penghubung antara Bupati dengan Wedana yang mengepalai distrik. Pada waktu itu di Jember hanya terdapat empat Wedana, yakni Wedana Jember, Sukokerto, Puger, dan Tanggul.

Pertumbuhan kota Jember semakin pesat, hal itu terbukti pada tahun 1869 sampai 1900 telah berdiri distrik­distrik baru seperti distrik Rambipuji yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Jember dan distrik Mayang yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Sukokerto (Tennekes,1963). Pada tahun 1913 distrik Puger dipecah menjadi dua, yaitu distrik Puger dan Wuluhan, berdasarkan besluit pemerintah tertanggal 13 Januari 1913.

Seiring dengan petumbuhan kota  Jember, aktivitas perdagangan juga meningkat. Di berbagai tempat terdapat pasar-pasar penjualan tembakau rakyat (vrijmanstabak). Untuk itu pemerintah mendirikan pasar pusat pelelangan tembakau di desa Kasemek Jelbuk. Kegiatan pasar pada waktu pelelangan sangat ramai, karena selain penjual dan pembeli tembakau yang datang ke pasar ini, juga para pedagang kain, pecah belah, dan penjual makanan dan minuman.

Dengan semakin ramainya kegiatan perdagangan di Jember, pemerintah  merasa perlu menambah jumlah pasar untuk memperlancar aktivitas perdagangan. Pada tahun 1883 pemerintah membuka pasar di desa Gambirono Tanggul dan pada tahun 1888 di distrik Wuluhan, Kalisat, Mayang, dan tahun­ tahun berikutnya masih banyak mendirikan pasar yang lain (ANRl Besuki, 1888).

Ramainya kegiatan perdagangan komoditi ekspor maupun domestik menyebabkan semakin intensif­ nya sistem ekonomi dunia masuk pada ma­ syarakat Jember. Pada waktu itu ekonomi uang menembus ke dalam sendi kehidupan masyarakat di pedesaan.

Pertumbuhan kota Jember semakin pesat tatkala para ondernemer disupor pemerintah untuk membangun infrastruktur seperti irigasi modern, transportasi, dan jembatan. Daerah Jember sebelum hadirnya para pengusaha perkebunan tidak memiliki sarana irigasi yang modern. Pada tahun 1902  Sungai  Sampean di Jember dibangun menggunakan sistem irigasi modern dan dapat mengairi lahan seluas 150.000 bau (Broersma, 1912).

Pada tahun­tahun berikutnya dibangun pengairan sungai Bondoyudo dan tanggul­tanggulnya, sepanjang 16 km dan dapat mengairi 42.220 bau. Pada tahun 1903 pembangunan irigasi sungai Bedadung  mulai  dikerjakan  dan dapat mengairi sawah 33.000 bau. Selain itu, dibangun sistem irigasi teknis pada sungai­ sungai kecil seperti sungai Besini, Mayang, Renes, dan Kalikotok.

Pembangunan irigasi pada sungai­sungai di Jember ini sebenarnya untuk kepentingan perkebunan tembakau dan gula, namun berdampak dibukanya lahan­ lahan baru. Pada tahun 1860 lahan sawah di daerah Jember sekitar 50.000 bau dan tanah tegalan sekitar 25.000 bau. Pada awal abad XX meningkat menjadi sekitar 240.000 bau, sedangkan untuk lahan tegalan menjadi sekitar 42.000 bau (Brosur NV LMOD, 1908).

Pembukaan lahan tersebut mengakibatkan sejak desenia akhir abad XIX Jember menjadi penghasil berasterbesar di wilayahkaresidenan Besuki (A.A., 5 Juni 1918). Adapun pusat produksi padi di afdeling Jember berada di distrik­distrik selatan seperti Wuluhan, Puger, Ambulu, dan Tanggul.

Sebelum    berkembangnya    perkebunan, kondisi jembatan dan jalan sangat jelek. Pada musim hujan jalan­jalan becek dan banjir, seperti dikisahkan dokter Greve yang bertugas di Jember dan tempat praktiknya di seberang sungai Bedadung. Pada musim hujan Greve tidak bisa praktik karena terhalang banjir dan belum ada jembatan.

Kesulitan sarana itu mendorong dia untuk menulis laporan pada Bataviasche Bladen, dan artikelnya berjudul “Een auklacht tegen den direktur Burgelijk Openbare Werken”. Artikelnya berisi keluhan terhadap direktur Dinas Pekerjaan Umum (BOW).

Tulis­an dr. Greve memperoleh tanggapan positif dari pemerintah. Sejak saat itu pemerintah banyak membangun jembatan yang kokoh. Selain itu pemerintah membangun jalan untuk “membuka keterisoliran” daerah Jember, seperti dari  Probolinggo,  Banyuwangi, dan Panarukan. Namun, untuk kelancaran pengangkutan hasil perkebunannya, pihak ondernemer membangun jalan ke pedesaan untuk menghubungkan kebun perusahaan yang satu dengan yang lainnya.

Salah satu contoh, pada tahun 1880­1890 NV LMOD membuat jalan yang panjangnya sekitar 140 km, untuk menghubungkan kantor pusat NV LMOD di distrik Jember dengan kebun­ kebunnya yang terletak di distrik Mayang, Gambirono, Wuluhan, Puger, dan Tanggul. Jalan itu memudahkan pengangkutan hasil tembakau dari kebun ke gudang­gudang pengeringan.

Pembangunan sarana yang lain ialah dibukanya jalur kereta api dari Jember ke Panarukan pada tahun 1897. Tujuan utamanya memperlancar pengiriman produk perkebunan dari sentra arealnya, yakni Bondowoso dan Jember ke pelabuhan Panarukan. Sebelum dibangun jalur kereta api, pengiriman produk perkebunan ke pelabuhan Kalbut menggu­ nakan gerobak sapi yang memerlukan waktu  2 hari dan daya angkut terbatas hanya 8 pak.

Menggunakan kereta api hanya memerlukan waktu 3 jam dengan daya angkut yang jauh lebih besar. Biaya pembuatan jalur kereta api ditanggung pemerintah. Tahun 1912 jawatan kereta api (Spoorwegdienst) membuka jalur­ jalur kecil di daerah Jember seperti jalur Jember­Rambipuji­Balung, dan berakhir di Ambulu.

Migrasi dan Munculnya Budaya Pandhalungan

Pembangunan infrastruktur di daerah Jember terutama pembangunan jalan darat dan kereta api pada desenia akhir abad XIX mengakibatkan terjadinya gelombang mi­ grasi orang­orang Madura, Jawa, dan etnik lain ke daerah ini. Gelombang migrasi ke­ lompok etnis tertentu biasanya membawa dan mengembangkan budaya mereka.

Para migran memerlukan hiburan sebagai salah satu cara pelepas rindu pada tempat  asal dan untuk menjalin interaksi dengan orang­ orang sesukunya serta sebagai media untuk menjalin solidaritas agar jati diri kesukuan dan budayanya di rantau tetap terbina dengan baik. Hal itu terjadi pada para migran asal Madura dan Jawa.

Migran Madura mayo­ritas menetap di wilayah Jember utara. Mereka hidup berkelompok yang didasarkan pada unsur geneologis yang disebut pola pemukiman “taneyan lanjang” (Wiyata, 1987). Oleh karenanya, sampai saat ini penduduk yang berada di Jember Utara menggunakan bahasa Madura. Selain itu, para migran Madura membawa  dan  mengembangkan seni tradisional dari daerah asalnya seperti macopat, topeng Madura, tanda’, sronen, dan sandhur (Tim Peneliti Fak. Sastra Unej, 1987).

Para migran Jawa banyak bermukim di wilayah Jember Selatan dan berbahasa Jawa. Sebagian besar mereka tidak paham bahasa Madura. Para migran Jawa membawa dan mengembangkan seni tradisionalnya, seperti reog, jaranan, ketoprak, dan wayang kulit. Reog banyak terdapat di Distrik Wuluhan. Di Distrik Wuluhan terdapat dua desa yang sebagian besar penduduknya berasal dari Ponorogo, yaitu desa Kesilir dan Wuluhan. Seni jaranan dibawa oleh para migran Kediri, wayang kulit dan ketoprak dibawa oleh para migran daerah vorstenlanden Solo dan Bagelen.

Selain terdapat  dua  unsur   budaya,   di daerah Jember masih terdapat budaya pandhalungan yang merupakan hasil sentuh budaya atau proses akulturasi antara budaya Jawa dengan Madura yang terdapat di daerah Jember Tengah dan sekitanya. Salah satu faktor penyebab timbulnya budaya pandhalungan ini karena komposisi migran Madura dan migran Jawa berimbang. Penduduk di Jember tengah dan sekitarnya pada umumnya dwibaha­ sawan yang menguasai bahasa Madura dan bahasa Jawa (Tim Peneliti Fak. Sastra Unej, 1981).

Dalam bidang kesenian, seni yang berkembang di daerah Jember tengah adalah seni pandhalungan yang memiliki ciri budaya Madura dan ciri budaya Jawa. Contohnya seni topeng Madura di Kelurahan Tegalgede, Kecamatan Sumbersari. Seni topeng Madura ini banyak berkembang di Jember tengah sudah sejak lama, dibawa oleh para migran Madura. Seperti  halnya  wayang  purwa, dalang mempunyai peranan yang sangat besar.

Dalang berfungsi mengatur dialog permainan kecuali para punakawan memiliki kelonggaran dalam berbicara. Wayang topeng Madura yang semula menggunakan bahasa Madura, kemudian  berkembang  dengan masuknya tari remo pada awal pementasan dan bahasa  yang  digunakan  merupakan campuran bahasa Madura dan bahasa Jawa.

Hal yang sama juga terjadi pada seni macopat yang banyak  digemari  oleh  masyarakat Madura yang bermukim di Jember tengah. Seni macopat memiliki dua unsur seni, yakni seni sastra dan seni baca (tembang). Dalam seni macopat selain terdapat penembang yang membaca cerita­cerita dengan menggunakan bahasa Jawa, juga terdapat paneges, yakni juru makna yang menjelaskan arti dan isi tembang dengan menggunakan bahasa Madura.

Simpulan

Masuknya sistem perkebunan partikelir pada pertengahan abad XIX di daerah Jember membawa perubahan­-perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat sekitarnya. Sistem perkebunan yang bercorak kapitalistik memperlancar proses monetisasi di kalangan masyarakat. Sejak saat itu mereka mendapat banyak kesempatan untuk memperoleh uang, karena banyak  kesempatan  memperoleh pekerjaan.

Kehadiran perkebunan swasta inimengakibatkan terjadinya gelombang migrasi seperti etnik Madura dan Jawa, sehingga daerah yang semula termasuk un­populated menjadi daerah yang penduduknya meningkat tajam. Dengan kondisi yang demikian, ha­ dirnya perkebunan­perkebunan swasta di daerah Jember membawa perubahan­peru­ bahan bentuk fisik kota.

Perubahan itu ter­ jadi karena  infrastruktur  yang  dibangun oleh pihak perkebunan dan didukung oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur seperti pembangunan  sarana  transportasi menimbulkan mobilitas sosial horisontal dan meningkatkan kelancaran perekonomian ma­syarakat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masuknya sistem perkebunan swasta telah membawa perubahan status dan bentuk kota. Jember yang semula kota kecil, terisolir, dan merupakan salah satu distrik dan afdeling Bondowoso, berubah dan statusnya meningkat menjadi afdeling atau regentschap, bahkan sejak akhir abad XIX menjadi kota paling ramai di wilayah karesidenan Besuki.

Sistem perkebunan swasta di Jember me­macu terjadinya migrasi besar­besaran etnik Madura dan Jawa yang membawa budaya asalnya ke daerah Jember, sehingga di Jem­ ber utara yang sebagian besar penduduknya berlatar belakang etnik Madura budaya yang berkembang di daerah ini budaya Madura.

Di pihak lain Jember selatan yang sebagian besar penduduknya berlatar belakang etnik Jawa, budaya yang berkembang ialah budaya Jawa. Jember tengah yang komposisi penduduknya imbang antara etnik Madura dan Jawa terjadi akulturasi budaya yang disebut budaya pan­ dhalungan, yaitu percampuran budaya Ma­ dura dan Jawa yang memunculkan budaya baru.

 

~Diambil dari jurnal Edy Burhan Arifin Fakultas Sastra Universitas Jember

Scroll to Top