Pada Sebuah Kota, Jember Namanya

WONGJEMBER.COM – Mari kita andaikan jika kota JEMBER adalah sebuah kanvas. Dan kita memiliki kuas untuk mengespreksikan segala imaji tanpa batas. Maka kota akan berubah menjadi ajang pertarungan estetis dari ratusan lini pikir manusia yang ada di dalamnya. Setiap manusia memiliki definisi keindahan tersendiri dalam benaknya. Namun kita andaikan bahwa segala manusia yang tinggal di dalam kota tadi bijaksana. Maka kita akan menemukan sebuah kota yang indah lagi menarik. Sebuah kota yang dibangun atas kesadaran seni para penduduknya.

Sayangnya kota-kota dimana manusia tinggal seringkali mengutamakan fungsi daripada estetika. Kota-kota dibangun dengan dingin. Seolah mereka yang tinggal di dalamnya hanya bidak, skrup, atau boneka. Memunculkan asumsi tidak perlu estetika jika efisiensi bisa direngkuh dengan mengorbankan keindahan. Kota diperkosa kegunaan. Dan manusia yang tinggal dalam kota semacam ini seringkali membosankan.

Dinding gedung menjulang dengan warna monokrom seragam. Dingin, ketus, disiplin dan totaliter. Hampir nir warna-warna cerah yang melahirkan semangat. Mari kita tengok Jakarta, New York, Singapura, atau Dubai. Balok-balok gedung menjulang tinggi serupa penjara yang memasung keindahan. Segala kedegilan bentuk ini bermuara pada hipotesis sederhana. Manusia-manusia urban mendikte bentuk dan tata ruangnya sendiri.

Tata ruang kota menjadi sebuah medan perang. Antara kepentingan ekonomis, ekologis, estetis dan utilitas. Tetapi seperti yang kita ketahui, bahwa fungsi ekonomis adalah raja diraja dari segala bentuk tata ruang. Kota dikembangkan serempak sesuai keinginan komprador berduit. Menindas dan menginjak habis segala kepentingan umum. Lihatlah kelahiran prematur mall-mall di perkotaan, atau pembangunan jalan layang-cum-tol yang berujung pada penundaan. Kota dikebiri kepentingan segelintir untuk menambah pundi-pundi uang.

Namanya, Kota Jember

Jember, kota dimana saya tinggal, memang bukan kota besar layaknya Jakarta atau Surabaya. Tetapi pertarungan ruang dan perebutan lahan hidup telah menjadikan kota ini sebagai garda terdepan dari sebuah medan perang. Masyarakatnya berjejal memanfaatkan ruang-ruang tak bertuan yang berserakan di antara aliran sungai dan tanah kosong di belakang pertokoan. Manusia-manusia yang beradaptasi dengan ruang sempit untuk bisa tinggal murah dan dekat dengan kehidupan kota. Sebuah eskapisme yang imajiner.

Jember awalnya adalah sebuah kota perkebunan. Pemerintah Belanda tak berniat membuat kota ini jadi kota niaga dan kota pemerintahan. Malah dalam rencana tata ruang Gubermen Belanda di Jawa Timur. Kota tetangga Jember, Bondowoso, adalah kota yang dipersiapkan sebagai kota pemerintahan dan niaga. Hal ini terbukti dari tata ruang Bondowoso yang lebih rapi dan lebih jelas ketimbang Jember. Bondowoso memiliki arah yang jelas mengenai lokasi tinggal, lokasi niaga dan juga lokasi pemerintahan. Sesuatu yang tak dimiliki oleh Jember.

Hmm… nJember

Jember menjadi sebuah kota yang semerawut acakadut. Pusat niaga dan perkantorannya terletak di jantung kota yang dekat dengan lokasi pemerintahan. Dimana di balik gedung-gedung pertokoan yang angkuh terdapat ratusan rumah petak yang dibangun semi permanen dengan tata rancang semau gue. Hasilnya adalah puluhan gang yang mirip dengan labirin.

Labirin di tengah kota Jember ini menjadi sebuah saksi multikulturalisme dan rekam jejak sejarah Jember. Ada gang Dahlok, sebuah gang multi etnis yang ditinggali oleh masyarakat tionghoa dan arab sekaligus. Juga gang Samanhudi, sebuah gang yang sempat memerah dengan darah para penghuninya yang dituduh simpatisan Lekra dan Gerwani karena di sinilah pentolan politbiro PKI Njoto tinggal.

Belum lagi gang-gang yang ada di belakang pasar Jompo yang menyimpan bukti toleransi umat beragama warisan kolonial. Di sana sebuah klenteng tertua dibangun berdekatan dengan sebuah mushola yang dulunya bekas pesantren. Klenteng Fung San Sie tetap bertahan namun pesantrennya sudah hilang berganti rumah rumah petak. Di sebuah kota dimana fungsi dan kepentingan praktis adalah hal yang utama, sejarah hanyalah gincu yang setiap saat bisa diganti dengan topeng yang bisa dibongkar pasang.

Tapi apakah sejarah itu? Apakah sebuah kota tak bisa menyelaraskan keindahan dan fungsi? Apakah tembok tembok dan ruang kosong hanyalah properti para pemilik kapital. Mural dan seni hanyalah sebuah katalis bagi pemilik produksi untuk menjajakan produknya. Tak ada keindahan yang murni hanya sebuah pesan tak kasat mata untuk meminta kita membeli, membeli dan membeli.

Pada sebuah kota pada akhirnya kesadaran para penduduk yang membuat mereka bergerak. Mereka yang dipaksa melihat visual mengerikan dari rayuan utuk membeli. Dinding, lampu dan segala macam tremor mengerikan bernama iklan. Kita lantas dipaksa menyerah, dipaksa menyepakati bahwa hal ini adalah sebuah keharusan. Sebuah kondisi apa boleh bikin dan tak bisa dilawan. Pemilik kapital dan segala macam pledoi bernama kesepakatan, janji dan kontrak. Ia adalah tuhan baru yang membuat kita tunduk.

Pada sebuah kota, ruang adalah nama rupa yang kita kutuki keberadaannya.

Puisi, Jember

I

rindu dan darah jadi batu
sunyi meminang terumbu dan kuali-kuali
yang tak tertampung perihnya;

di kota asing dalam diriku
di mana rembulan pecah dan berwarna biru
yang sakit. kuigaukan jemarimu
melambai pada tikungan, dari tiap kemungkinan
tentang ingatan;

di kota dalam diriku
para serdadu dengan melepas sepatu
telah memeluk tiang-tiang jalan
jalan yang menulis
jalan-jalan berkesiur pada kenangan
jalan bahasaku padamu.

II

di kota yang tak siang itu
orang-orang menampung air mata
melipat tapak yang terkibas dan terlepas;

di jantung rinduku
kampung dengan raut masa kanak
dan usia yang bergelayut sedih
di tiang lampu-lampu, kelak
kunyalakan namamu.

Jember, 15 Juli 2019

Scroll to Top